RAJA AMPAT - Perairan Indonesia Timur terkenal dengan kekayaan ragam hayati yang tinggi, khususnya Kepulauan Raja Ampat. Dari 83 genera karang, maka 41 diantaranya dapat dijumpai di wilayah ini.
Demikian pula, dari 570 jenis karang di Indonesia yang telah diidentifikasi oleh LIPI (2020), maka penelitian Australian Institute of Marine Science-Australia (AIMS) menyebut 540 jenis dijumpai di perairan Raja Ampat. Demikian juga dengan biota-biota lainnya seperti ikan karang, moluska, lamun dan mangrove.
Baca juga:
Kepala Bakamla RI Jadi Narasumber di DPR RI
|
Agar kelestariannya terjaga, tentu dibutuhkan upaya untuk menyelamatkan aset hayati ini. Tujuannya agar kerusakan biota laut dapat dihindari dan pemanfaatannya dapat dilakukan secara berkelanjutan. Pendampingan dan pemberdayaan kepada masyarakat tentu saja menjadi penting untuk dilakukan.
Penyakit Karang
Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan melakukan pengambilan data kondisi karang dan inventarisasi biota yang ada di ekosistem terumbu karang. Juga dilakukan inventarisasi terhadap karang yang ada.
Dari penelitian, maka gangguan karang secara alami dapat disebabkan oleh penyakit, predator, dan kompetisi dengan biota lain termasuk antar karang dengan jenis yang berbeda.
Plat worm menempel pada karang berakibat terganggu pertumbuhan karang, karang menjadi pucat tidak seperti warna berkondisi sehat. Gambar 2. Kompetisi karang jenis Galaxea sp dengan ascidian, bagian karang ada yang putih dan sudah ditumbuhi oleh ascidian. Gambar 3 dan 4. Penyakit sabuk hitam (Black Band Disease-BBD) pada karang Montipora sp (kiri) dan Goniopora sp (kanan). Terlihat ada batas warna hitam tanda bakteri secara konsorsium masih aktif menyerang karang tersebut. Dok: Ofri Johan
Gangguan dari penyakit karang diantaranya berasal dari Black Band Disease, Skeletal Eroding Band, White syndrome, Brown Band Disease, dan White Band Disease. Pengganggu kesehatan lainnya ditemukan plat worm, trematoda pigmentation, kompetisi karang dengan sponge, macro-algae, dan flashy algae.
Karang juga dapat terganggu akibat kelompok predasi yang berasal dari Drupella sp, Coralliphorm, dan bekas gigitan ikan. Bahkan lebih lanjut, gangguan lain seperti bekas gigitan ikan, akan menimbulkan munculnya penyakit karang. Sebagai dampak terparah, penyakit dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan karang, bahkan menimbulkan kematian.
Sayangnya, data terkait penyakit karang di Indonesia masih sedikit sehingga belum bisa menghitung secara keseluruhan tingkat kematian karang akibat penyakit karang. Ini Berbeda dengan kawasan lain seperti perairan Caribbean dan Australia yang sudah menjadi perhatian sejak lama para peneliti.
Di perairan Raja Ampat, kegiatan Pemetaan Partisipatif Kondisi Biofisik Perikanan dan Ekosistem Pesisir dilakukan oleh Yayasan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI) dalam program Coral Reef Rehabilitation and Management Program - Coral Reef Triangle Initiative (COREMAP-CTI).
Kegiatan dilakukan pada daerah Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) Suaka Alam Perairan (SAP) Raja Ampat dan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Taman Wisata Perairan (TWP) Selat Dampier pada tanggal 7-14 April 2021. Disamping kondisi karang, juga dilakukan pengamatan pada ekosistem mangrove dan lamun.
Dari observasi diperoleh tutupan karang tergolong kondisi baik dan sangat baik di beberapa lokasi. Beberapa lokasi juga ditemukan tingkat dominansi sangat tinggi seperti adanya hamparan karang Montipora aequituberculata, Montipora altasepta pada lokasi berbeda.
Berdasarkan data sementara dari transek berukuran 1×60 m2, jumlah genera karang berhasil ditemukan sekitar 41 genera, berarti setengah dari total genera yang ditemukan di Indonesia yaitu 83 genera.
Hasil pengamatan keragaman lamun berhasil ditemukan 7 jenis dengan estimasi tutupan lamun berkisar 55-75%. Tim survei dari Yayasan Lamun, Juraij Bawasir, M.Si menambahkan bahwa 7 jenis lamun tersebut ditemukan pada 1 lokasi pengamatan, suatu hal yang sangat menakjubkan, jarang ada pada lokasi lain sebelumnya.
Jenis tersebut adalah Enhalus acoroides (Ea), Thalasia hemprichii (Th), Cymodocea rotundata (Cr), Halodule uninervis (Hu), Halophila ovalis (Ho), Cymodocea serrulata (Cs), dan Halodule pinifolia (Hp).
Hal ini menambah betapa pentingnya perairan Raja Ampat. Dari total 13 jenis lamun yang ditemukan di Indonesia, berarti lebih separuhnya teridenfikasi di Raja Ampat.
Selama survey, bekas-bekas ruaya mamalia laut pun dijumpai di beberapa lokasi. Saat ini Juraij dan tim Yayasan Lamun sedang melacak keberadaan dugong dan mamalia laut lain dengan kamera drone.
Karang terinfeksi penyakit BBD pada Pachyseris speciosa (kiri atas) dan Montipora sp (kanan atas). Sementara penyakit Skeletal Eroding Band menginfeksi karang Acropora sp (kiri bawah) dan White syndrome pada karang Acropora sp (kanan bawah). Foto: Ofri Johan
Ancaman Penurunan Ragam Hayati
Sama halnya dengan lokasi lain yang pembangunan wilayah pesisirnya meningkat, keragaman biota dan ekosistem di wilayah Raja Ampat pun memiliki potensi keterancaman. Dampak polusi dan sedimentasi akan membuat penurunan biodiversitas pada suatu ekosistem.
Dalam workshop para pihak, yang membahas tentang potensi pengembangan marine ecotourism di perairan Raja Ampat, penulis bersama Juraij Bawasir (Yayasan Lamun Indonesia) dan Marjan Bato, M.Si (Universitas Papua) membahas temuan-temuan yang perlu diperhatikan agar perairan Raja Ampat tetap lestari. Poin-poin diskusi itu, diantaranya:
Pertama. Kegiatan pariwisata yang tidak ramah lingkungan akan berdampak pada kerusakan dan penurunan biota. Termasuk yang perlu diperhatikan adalah aktifitas snorkeling dan penyelaman bagi pemula yang dapat merusak karang, kunjungan wisata yang melebihi kapasitas, dan polusi sampah di samping lokasi target wisata bahari.
Kedua. Masih maraknya penggunaan alat tangkap yang merusak ekosistem terumbu karang seperti bom dan potassium khususnya di daerah-daerah yang jauh dari jangkauan pengawasan.
Padahal penggunaan bom dapat merusak struktur terumbu karang dengan waktu singkat. Sedangkan potassium (potas) menyebabkan kematian karang dan biota target serta biota sekitar pengoperasian mulai dari ukuran kecil hingga dewasa yang terpapar oleh bahan kimia ini.
Ketiga. Penggunaan alat tangkap dapat juga mengakibatkan terjadinya over fishing terhadap ikan target penangkapan dan ikan yang tertangkap lainnya. Daerah sebagai target wisata bawah air umumnya mengandalkan kelimpahan dan keragaman ikan dan biota lainnya.
Ikan yang memiliki kebiasaan schooling menjadi target wisata penyelaman pada lokasi penyelaman. Namun apabila tidak ada pengaturan yang maksimal maka potensi wisata bahari dan penyelaman di daerah Raja Ampat akan berkurang peminatnya dan bahkan akan hilang.
Keempat. Pengawasan aparat dan kesadaran warga perlu dimunculkan, khususnya untuk mengantisipasi munculnya dampak dari penangkapan jenis-jenis ikan tertentu. Seperti perdagangan sirip hiu, penangkapan penyu untuk diambil dagingnya untuk upacara adat, dan pengambilan kulit kerang (kima) untuk bahan kapur sirih.
Penutup
Kehilangan jenis biota pada suatu perairan bisa saja terjadi akibat ekploitasi dan kematian massal karena pemanasan global. Kematian massal pada karang dapat menyebabkan kehilangan jenis karang tertentu di suatu perairan seperti kejadian kematian karang di Perairan Barat Sumatera. Pemulihan untuk sampai kondisi semula membutuhkan waktu yang lama.
Keberlangsungan wisata di Raja Ampat sangat perlu memperhatikan faktor-faktor yang menyebabkan penuruan keragaman hayati di perairan tersebut. Peningkatan kesadaran, pengaturan yang ketat dari Pemda setempat serta dukungan para penikmat wisata itu sendiri menjadi syarat agar aset hayati laut ini dapat lestari.
* Dr. Ofri Johan, M.Si, penulis adalah peneliti di Balai Riset Budidaya Ikan Hias, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Tulisan sudah terbit di Mongabai pada 9 May 2021. Link: Raja Ampat, Antara Kekayaan Laut dan Ancaman pada Ragam Hayati - Mongabay.co.id : Mongabay.co.id